Minggu, 08 Mei 2016

Judul: Para Pembunuh Tuhan

Judul: Para Pembunuh Tuhan 

Penulis: A. Setyo Wibowo
Penerbit: Kanisius, 2009
Tebal: 136 halaman
Kondisi: Segel/Baru
Harga : 40.000

Perkembangan ilmu filsafat ketuhanan terus merangkak melahirkan pemikir-pemikir cerdas dan gigih. Dengan berbagai tinjauan, keberadaan Tuhan dibuktikan. Tapi, keberadaan itu juga mau dihantam dan disangkal. Banyak para filsuf yang meragukan kebenaran Tuhan.

Bermacam argumen diajukan. Merekalah Para Pembunuh Tuhan. Tuhan… apakah Dia itu? Selama berabad-abad manusia mencari jawab atas pertanyaan itu. Ia diterima, diyakini, dipercayai. Ada sisi saat manusia hidup damai karena keberadaan-Nya. Ada pula sisi saat manusia saling berbunuh demi “membela”-Nya. Kengerian dan kekejian terus-menerus terjadi. Keberadaan-Nya semakin menuntut korban dan korban.


Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre

Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre


Penulis               : A. Setyo Wibowo dan Majalah Driyarkara
Penerbit             : Kanisius
Cetakan             : V, 2015
Tebal                 : 227hlm
Harga                : 60.000

Untuk mengenang 100 tahun kematian filsuf besar eksistensialisme, Jean-Paul Sartre, beberapa tokoh intelektual dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menulis tentang beliau. Setelah dimuat di jurnal Driyarkara Th. XXVIII no.4/2006, kemudian Penerbit Kanisius menerbitkannya dalam bentuk buku. Dan ditambah dengan tulisan Ito-Prajna Nugroho dengan judul : “Diri dan ‘Ketiadaan’ dalam Filsafat Sartre : Memahami Kesalahpahaman Sartre atas Fenomenologi Husserl”.

Buku ini sejatinya adalah mencoba menjelaskan Sartre dengan berbagai perspektif. Perspektif itu mulai dari historis kehidupan Sartre, karya-karyanya serta kehidupan pribadinya. Tulisan keroyokan yang mencoba menjelaskan siapa dan apa Sartre ini menjadi buku yang sangat saya suka. Dengan bentuk dan struktur jurnal, tulisan di dalam buku ini terkesan ilmiah dan bernilai akademik.

Beberapa tulisan dalam buku ini adalah :

1.       Jean Paul Sartre oleh Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ
2.       Eksistensi Kontingen : Satu Sudut Pandang Membaca Kisah Hidup dan Pemikiran Jean-Paul Sartre oleh Dr. A. Setyo Wibowo
3.       Relasi Antar Manusia Menurut Jean Paul Sartre, Beberapa Catatan oleh Prof. Dr. Alex Lanur OFM
4.       La Literature Engagee : Menggagas Sastra yang membebaskan oleh J. Supriyono
5.       Ateisme Sartre : Menolak Tuhan, Mengiyakan Manusia oleh Dr. SP. Lili Tjahjadi
6.       Emosi, Bentuk Eksistensi Manusia dalam Ke-‘segera’-an (spontanitas) oleh Sayyidah Muniroh
7.       Relasi dengan Orang Lain dan Paham Kebebasan dalam Drama Sartre Huis Clos oleh Thomas  Hidya Tjaya
8.       ‘Diri dan ‘Keitadaan’ dalam Filsafat Sartre Memahami Kesalahpahaman Sartre atas Fenomenologi Husserl oleh Ito Prajna-Nugroho.

Judul: Islam dan Sosialisme

Judul: Islam dan Sosialisme



Penulis: H.O.S. Tjokroaminoto
Penerbit: Sega Arsy, 2008
Tebal: 148 halaman
Kondisi: Bagus

Tjokroaminoto yang dilahirkan pada 16 Agustus 1882, di Madium Jawa Timur adalah seorang tokoh besar Indonesia. Belanda menjulukinya sebagai Raja Jawa yang Tak Bermahkota. Ia menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) (1912) dan sukses membawa SI sebagai organisasi pergerakan nasional terbesar ketika itu. Ia menjadi tokoh dan guru utama pergerakan. Dua muridnya yang terkemuka adalah Soekarno dan S.M. Kartosuwirjo. Soekarno kelak menjadi Proklamator dan Presiden Pertam RI. Sedangkan S.M. Kartosuwirjo menjadi Proklamator Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII).

Salah satu wasiat Tjokroaminoto yang terkenal adalah "Lerena mangan sadurunge wareg" yang berarti "berhentilah makan sebelum kenyang". Pesan yang bersumber dari hadis Nabi ini dimaksudkan agar generasi penerus menghindari sikap rakus dan serakah serta menggunakan jabatana untuk kepentingan pribadi dan golongan. Ia juga menyampaikan sebuah wasiat tertulis yang disahkan oleh forum sebagai "Pedoman Umat Islam". Isinya berupa pesan nkepada umat Islam supaya menjadi pelopor dalam upaya membawa masyarakat menuju tatanan kehidupan yangs esuai dengan ajaran Islam.

Buku Islam dan Sosialisme ini merupakan karyanya yang paling meonumental, bahkan menjadi salah satu karya terbesar Tjokromainoto. Di dalamnya memuat sistem kemasyarakatan yang sosial-relijius dengan susunan pemerintahan yang bersendikan demokrasi. Buku ini ditulis untuk menanggulangi faham sosialisme yang diusung oleh kaum atheis dan komunis di Indonesia.

Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika)

Judul: Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika)


Penulis: Tan Malaka
Harga : 35.000
Kondisi : Bagus

Bangsa Indonesia memandang bahwa apa yang terjadi di dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan keramat di alam gaib. Cara pandang ini, disebut-sebut oleh Tan Malaka sebagai “logika mistika”. Logika ini melumpuhkan karena ketimbang menangani sendiri permasalahan yang dihadapi, lebih baik mengharapkan kekuatan-kekuatan gaib itu sendiri. Karena itu, mereka (masyarakat Indonesia) mengadakan mantra, sesajen, dan doa-doa. Melihat kenyataan bangsanya yang masih terkungkung oleh “logika mistika” itu, Tan Malaka melahirkan Madilog.

Mendiang peneliti LIPI, Dr. Alfian pernah menyebutkan bahwa Madilog memang merupakan karya terbaik Tan Malaka, paling orisinal, berbobot, dan brilian. Naskah Madilog ditulis oleh Tan Malaka selama delapan bulan (15 Juli 1942 - 30 Maret 1943). Buku ini bukan semacam “ajaran partai” atau “ideologi proletariat”, melainkan cita-cita Tan Malaka sendiri. Di mana, Madilog—sebagian besar mengikuti konsep materialistik-dialektik Fredrich Engels—sama sekali bebas dari buku-buku Marxisme-Leninisme yang menuntut ketaatan mutlak pembaca terhadap Partai Komunis.

Tan Malaka melihat kemajuan umat manusia harus melalui tiga tahap: Dari “logika mistika” lewat “filsafat” ke “ilmu pengetahuan” (sains). Dan selama bangsa Indonesia masih terkungkung oleh “logika mistika” itu, tak mungkin ia menjadi bangsa yang merdeka dan maju. Madilog merupakan jalan keluar dari “logika mistika” dan imbauan seorang nasionalis sejati buat bangsanya untuk keluar dari keterbelakangan dan ketertinggalan.

TASAWUF MODERN

TASAWUF MODERN


Penerbit : Replika
Kondisi : Segel/ Baru
Harga: 65.000
Sinopsis :
Buya Hamka. Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Malik Karim Amrullah dan Shaffiah ini lahir pada 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat. Tidak satu pun pendidikan formal ditamatkannya. Banyak membaca menjadi modalnya, tak lupa belajar langsung dengan tokoh dan ulama, baik di Sumatra Barat, Jawa, bahkan sampai ke Mekah. Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar dan Universitas Prof. Moestopo Beragama ini wafat pada hari Jum’at, 24 Juli 1981.

Buku ini tidak menguraikan tentang tasawuf, meski judulnya Tasawuf Modern. Buku ini tetap relevan, meski ditulis puluhan tahun yang lalu. Temanya tentang bahagia, topik yang tidak pernah selesai diperbincangkan, dan selalu ingin diwujudukan oleh siapa pun, di mana pun, dan dengan cara apa pun.

Ditulis oleh cendekiawan muslim berwawasan luas, dengan latar belakang sastrawan, menjadikan buku ini bukan saja kaya makna, tapi juga enak dibaca. Mari kita lihat salah satu uraiannya, “...Berbagailah yang timbul ketika memberi keputusan. Ada yang mengatakan baik, sebab sayang, ada yang mengatakan buruk, sebab benci. Berbagai ragam keputusan menurut pengalaman, ilmu, dan penyelidikan....bahagia dan celaka itu hanya berpusat kepada sanubari orang, bukan pada zat barang yang dilihat. Bagi kebanyakan orang, masuk bui menjadi kecelakaan dan kehinaan, bagi setengahnya pula, menjadi kemuliaan dan kebahagiaan.”

Seringkali orang mencari bahagia dengan mengorbankan waktu, tenaga, keluarga, bahkan nyawa. Padahal, bahagia ada di dalam diri kita, dekat dengan kita.

Diskursus Metode

Judul: Diskursus Metode


Penulis: Rene Descartes
Penerbit: Ircisod 
Tebal: 106 halaman
Kondisi: Segel/Baru
Harga: Rp. 35.000 

Sesudah Renaisans di kawasan Eropa, muncul gelombang cara berpikir baru yang disebut dengan "zaman modern". Rene Descartes adalah salah satu pemikir sekaligus perintis paling penting dan berpengaruh dalam sejarah Barat modern. Pemikirannya yang sangat revolusioner telah membuat sebuah revolusi filosofis. Dengan Descartes, filsafat tidak lagi bertolak dari esse (ada), melainkan conscientia (kesadaran).

Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) adalah ungkapan yang sangat populer dari seorang Descartes dan menjadi tanda dimulainya zaman modern. Kata-kata itu jugalah yang menobatkannya sebagai bapak filsafat modern.

Filsafat modern lebih mengacu pada cara yang digunakan dalam proses berpikir untuk mencapai sebuah kebenaran baru. Artinya, titik tolak filsafat adalah subjek yang mengerti, memahami, dan menyelidiki objek sehingga dapat diperoleh sebuah kebenaran baru. Dengan demikian, berfilsafat tidak lagi berangkat dari objek, melainkan dari subjek.

Buku dengan judul Diskursus dan Metode ini hendak menjawab pertanyaan khalayak ramai yang ingin mengetahui sederet pemikiran Descartes. Salah satu buah pikirannya, yakni hidup yang benar didasarkan pada kaidah-kaidah pengetahuan, sampai kini masih dipegang kalangan filsuf sebagai sebuah ajaran, petuah, dan hampir dianggap sebagai kebenaran tunggal.
Setidaknya, ada tiga tahap pemikiran Descartes dalam mencari kebenaran sejati.

Dimulai dengan langkah-langkah metodis, menyaksikan pendapat-pendapat yang (menurut dia) keliru. Itu dianggap sebagai kebenaran lama yang sudah disepakati masyarakat. Tahap pertama ini merupakan langkah awal landasan cogito-nya.

Untuk landasan filosofisnya (kesadaran), dia menguji pemikirannya bahwa dia bisa tahu tidak sedang tidur dan bermimpi. Antara keadaan sadar dan mimpi tidak ada perbedaan atau batas yang benar-benar tegas dan jelas (distinct).

Langkah selanjutnya, Descartes kembali berpikir adakah sesuatu (objek) yang tidak dapat diragukan lagi keberadaannya. Dia sendiri mengajukan tiga hal, yaitu gerak, jumlah, dan besaran (matematika). Namun, dia kembali meragukannya karena kadang-kadang merasa salah ketika menghitung. Akhirnya, diambil kesimpulan bahwa dia ragu-ragu karena dia berpikir.

Tidak mungkin dia ragu-ragu jika dia tidak berpikir. Kemudian dia mengungkapkan, jika "aku berpikir" ada, berarti "aku" ada, sebab yang berpikir itu aku.

Metode itulah yang disebut dengan cogito ergo sum, aku berpikir, karena itu aku ada. Inilah yang menjadi kritik Cartesius atas cara berpikir lama. Jika hendak menemukan kebenaran sejati, seseorang harus mau memperbaiki hidupnya, cara pandangnya, metode pencariannya, untuk mencapai sebuah kebenaran baru. Dia juga harus merombak kebenaran lama yang salah.

Rene Descartes, melalui pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam buku ini, menantang seraya menyihir pembacanya agar menjadi seorang le maitres et possesseurs de la nature, pangeran yang gilang-gemilang dengan cahaya ilmu dan menjadi penguasa dunia. Ini sebuah refleksi filosofis terhadap pemikiran Rene Descartes dalam hubungannya dengan kodrat manusia.

Buku ini diawali dengan pembahasan perihal ilmu pengetahuan sampai bukti-bukti keberadaan Tuhan dan jiwa manusia. Masih banyak lagi ilmu yang akan sangat bermanfaat dibahas di dalam buku ini. Pada akhirnya, pembaca akan menemukan diskursus tentang metode untuk mengarahkan penalaran dengan baik dan mencari kebenaran dalam ilmu-ilmu pengetahuan, termasuk mencari bukti-bukti keberadaan Tuhan.

Tahafut At Tahafut: Sanggahan terhadap Tahafut al Falasifah

Tahafut At Tahafut: Sanggahan terhadap Tahafut al Falasifah


Penerbit : Pustaka Pelajar
Penulis : Ibn Rusyd 
Tahun Terbit : Cet 1: Agust 2004
Kertas & Halaman : 306 Halaman

Ibn Rusyd lahir dan dibesarkan di Cordova. Ia adalah filsuf kenamaan yang tidak hanya dikenal di kalangan islam, melainkan juga di kalangan pemikir – pemikir barat. Selain menulis filsafat, Ibn Rusyd juga menulis tentang pengobatan, fauna, kosmologi, teologi, logika dan lain – lain. Di antara berbagai karyanya itu, yang paling mashur adalah Tahafut at Tahafut. Buku ini lahir sebagai sanggahan terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahafut at-Falasifah, Kerancuan para filsuf.

Buku Tahafut at Tahafut dikemas dalam bentuk polemik. Pertama-tama ditampilkan kritik dan argumentasi Ibn Rusyd terhadap pemikiran al-Ghazali.

Kritik atas kritik yang dibangun Ibn Rusyd merupakan wahana untuk membentuk sikap kritis dikalangan umat islam. Apa yang dilakukan Ibn Rusyd snada dengan ungkapan al-Ghazali sendiri yang menyatakan bahwa “musuh yang bijak lebih baik daripada sahabat yang bodoh”. Upaya penerjamahan buku Ibn Rusyd ini merupakan sumbangan pemikiran yang penting dalam khasanah pengembangan intelektual.

Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib

Judul: Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3ONKXJnDV1VzoC4zYtS3qC5DUhKtKf8xeetlZojNSz8KALHLvVID8ai80qMUIfmHpI1lAB2lo8yFrvB-Bx-l1iO1QqwlEc6kKupCA0e8oi2EwscUH7-kNRl1uSutGV5n1vew7WkQ4c8I/s320/

Penulis: Ahmad Wahib
Penerbit: LP3ES, 2003
Tebal: 414 Halaman
Kondisi: Segel
Harga: Rp. 50.000

Bagi pembaca yang tidak mengenalnya secara pribadi, sulit mendapatkan kesan utuh tentang diri Ahmad Wahib hanya dari bukunya ini. Pemikir muda muslim yang mati muda ini (1943-1973), menyajikan dalam catatan harian yang diwariskannya, beberapa kepingan yang mungkin dapat menyajikan gambaran lengkap tentang kepribadian yang bulat, hanya setelah pengenalan pribadi yang cukup lama. Ketulusan untuk memperoleh kebenaran dengan pertaruhan tertinggi. Keberanian menghadapkan diri sendiri kepada masalah-masalah keimanan terdalam –yang berarti pengakuan penuh atas keraguan mendasar dalam hati sendiri. Dan kemampuan untuk memetik pelajaran dari pihak mana pun. Semua itu adalah hal-hal yang saling bertentangan tetapi berkembang dalam hidup Ahmad Wahib.

Mengejar kebenaran secara tuntas mengandaikan kepastian sikap yang penuh — katakanlah semacam lan vitalnya seorang filosof. Sedangkan introspeksi ke dalam, justru menampakkan wajah yang berkebalikan. Lalu bagaimana pula keduanya harus dipertalikan dengan kelemahan hati seorang yang mampu belajar dari siapa pun? Sulit diketahui ‘bagaimananya’ pergolakan pemikiran Ahmad Wahib. Terlebih-lebih kalau diteropong dari sisi lain watak hidupnya sendiri: kebimbangan (atau justru rasa rendah dirinya?) untuk mewujudkan tindak lanjut bagi ikatan kasih yang dijalinnya dengan seorang gadis, umpamanya. Atau sifat pemalunya yang demikian besar. Kesan tiadanya keutuhan gambaran itulah yang muncul dari membaca buku ini. Padahal pribadi yang digambirkan justru sangat kuat proyeksinya kepada pembaca sebagai sesuatu yang utuh! Hanya orang tidak tahu keseluruhan wajah keutuhan itu sendiri. Di sinilah harus disayangkan kegagalan kata pengantar Prof. Dr. A. Mukti Ali dan pendahuluan Djohan Effendi.

Sebagai bekas pembimbing intelektual-keagamaan dan kawan terdekat Ahmad Wahib, seharusnya kedua orang tersebut menjelaskan secara terperinci aspekaspek pergulatannya yang tidak tertangkap oleh orang lain. Manakah gambaran jelas tentang bermulanya proses itu? Dera apakah yang harus dijalani Ahmad A’ahib dalam hidupnya, yang membentuk kepribadiannya? Sejauh manakah pemikir muda ini disengsarakan kejujurannya yang demikian mutlak itu? Kita tahu ia harus bergulat, tetapi apa lingkup pergulatannya, kesakitannya sewaktu menjalani proses tersebut, harapan yang dirumuskannya sebagai uung pergulatan?

Tetapi yang luar biasa dari buku ini adalah kenyataan akan tingginya intenitas pergulatan pemikiran dalam diri Ahmad Wahib. Tanpa ada kejelasan situasinya sekalipun, kita tetap merasakan betapa besar arti pergulatan itu bagi diri Ahmad Wahib sendiri dan bagi temanteman sejawatnya. Bahkan mungkin bagi perkembangan Islam sendiri, di sini! Begitu kuat keterlibatan Ahmad Wahib kepada penentuan masa depan agama yang dicintainya itu, terasa bagi kita. adahal, tetap saja tidak jelas apa visinya akan masa lampau agama tersebut. Kalau ia dapati kekurangan sedemikian mendasar di dalamnya, mengapakah Ahmad Wahib tidak menolaknya? Bahkan, sebaliknya, ia lebih dalam mencintainya –bagaikan orang mencintai pelacur walaupun tahu apa yang dilakukan pelacur itu sehari-hari.

Berpikir Nisbi Dalam pernyataannya bahwa ia harus meragukan adanya Tuhan untuk dapat lebih merasakan makna kehadiran-Nya (hal. 23, 30 dan 47, umpamanya), jelas menunjukkan kebutuhannya sendiri kepada Tuhan yang itu-itu juga–bukannya Tuhan yang lain hasil ‘buatannya’ sendiri. Inilah yang merupakan inti kehadiran Ahmad Wahib dalam kehidupan kaum muslimin kita di permulaan tahun tujuhpuluhan ketundukannya yang penuh kepada Yang Mutlak, dengan menggunakan cara-cara berpikir nisbi. Selebihnya menarik Jterutama sebagai kesaksian historis akan potensinya yang besar di bidang pemikiran keagamaan seandainya ia tidak mati begitu muda. Betapa ia mengerti hakikat ‘kebidatan’nya NU, sambil tetap tidak mampu melepaskan diri dari belenggu kecintaan kepada HMI. Betapa pandainya ia memaki kawan seiring, karena kepengecutan mereka dalam menanggung konsekuensi logis pemikiran mereka. Tetapi sambil merasa ketakutan, bahwa ia akan menganiaya mereka dengan tuntutan-tuntutan terlalu berat. Dan betapa Ahmao Wahib mampu mengajukan begitu banyak pertanyaan fundamental kepada teman-teman seagamanya, padahal ia sendiri sangat kekurangan pengetahuan dasar tentang pemikiran keagamaan itu sendiri !

Ia menyadari bahwa keterlibatannya kepada ‘pembaharuan Islam’ justru muncul dari kenyataan begitu besarnya kemelut kehidupan kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, Ahmad Wahib sedalam-dalamnya menyadari bahwa hanya satu-dua orang saja yang akan mampu mengikutinya. Sisanya, tetap saja berada dalam kemelut mereka. Toh ia tak juga mau meninggalkan upaya ‘meningkatkan keimanan’ mereka, meskipun ia tahu akan gagal total. Dilakukannya itu tidak lain karena kecintaannya kepada Islam yang ‘apa adanya saja’, sebagaimana tampak di pelupuk matanya. Upayanya memberonak tidak lain karena ketakutan akan irelevansi ‘Islam apa adanya’ itu bagi orang lain di kemudian hari, bukan bagi dirinya.

Ternyata, kalau dilihat dari sudut ini, Ahmad Wahib merupakan sisi lain dari mata uang yang sama: ketakutan akan erosi keimanan kaum muslimin di kemudian hari. Wajah satunya lagi, adalah kuatnya kecenderungan sementara lulusan dan jebolan disiplin ilmiah eksakta untuk mengajukan ‘kebenaran’ Islam secara formal. Ahmad Wahib sendiri adalah dari kelompok ‘jebolan eksakta’, yang kemudian lari ke filsafat. Tetapi ia mellolak formalisme seperti itu. Namun tetap saja ia melakukan kerja mengukuhkan kehadiran Islam, seperti ‘kaum formalis’ itu. Mengukuhkan Agama Memang, sedalam-dalamnya Ahmad Wahib adalah seorang muslim dengan keimanan penuh. Pemberontakan yang dilakukannya justru bertujuan mengukuhkan agama yang diyakininya itu. Bak tukang batu yang menghantamkan palunya ke tembok, untuk menguji kekuatan dan daya tahan tembok tersebut.

Siapa dapat mengatakan menjadi ‘muslim bergolak dan pemberontak’ seperti Ahmad Wahib ini lebih rendah kadarnya dari ‘kemusliman’ mereka yang tidak pernah mempertanyakan kebenaran agama mereka sekali pun? Kutipan berikut dari catatan harian Ahmad Wahib dengan tepat menggambarkan kesimpulan itu. “Aku bukan nasionalis, bukan katolik. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia”. (hal. 46). Alangkah mulianya pribadi Ahmad Wahib, dan alangkah sempurna kemuslimannya.

Sosialisme Islam (Pemikiran Ali Syari’ati)

Judul : Sosialisme Islam (Pemikiran Ali Syari’ati)


Penulis : Eko Supriyadi
Penerbit : RausyanFikr
Harga : Rp. 38.000
Buku ini akan mengajak kita melalui kajian dan telaah yang ekstensif memasuki uraian terperinci Syari’ati tentang Islam dan Marxisme sebagai dua konsep yang terpisah. Namun, beliau menemukan disposisi (Nazhariah Al Intidza’) dalam sebuah ungkapan kontroversi, tetapi tetap dalam ciri akademiknya: Sosialisme Religius, Sosialisme Islam, sebuah perspektif yang berhasil ditunjukan Mas Eko Supriyadi menjadi sebuah Paradigma.

Pemisahan antara Imamah dan Khilafah merupakan produk pemikiran Barat modern, dan di dalam Islam tidak ada pemisahan antara politik dan agama. dunia dan akhirat. Imamah adalah pelanjut Risalah kemasyarakatan nabi yang bertujuan membangun umat. Ummah adalah komunitas dinamis yang selalu berhijrah dan memiliki orientasi pemikiran ideal, sedangkan Imamah merupakan sesuatu yang wajib yang ada bagi suatu Ummah.

Sabda Zarathustra





Judul: Sabda Zarathustra
Penulis: Friedrich Nietzsche
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tebal: 501 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000

Mengapa Nietzsche bersikeras bahwa Tuhan telah mati? Dia mengatakan bahwa kematian Tuhan itu disebabkan oleh rasa belas kasihan, (Jrm: Mitleid atau Jw: nelongso) karena melihat keburukan-keburukan manusia. Dia tidak mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Dengan mengatakan bahwa Tuhan telah mati maka Nietzsche tidak bisa dikatakan menegasi keberadaan Tuhan. Sebaliknya, sebagaimana juga terhimpun dalam buku Sabda Zarathustra ini, ia menegaskan keberadaan Tuhan, pernyataan Tuhan bahwa telah mati lebih tepat dipandang sebagai sebuah penetapan waktu: Tuhan itu ada, tapi dulu, dan sekarang tidak ada lagi. Dan ketika dia mengatakan bahwa ketiadaan Tuhan saat itu disebabkan oleh manusia, maka sebenarnya pernyataan ini lebih tertuju—sekali lagi— bukan pada negasi terhadap eksistensi Tuhan secara metafisik, tapi lebih tertuju pada tidak berperannya kepercayaan akan Tuhan dalam kehidupan manusia pada umumnya. Kami yakin, poin terakhir ini, yaitu bahwa memang di jaman modern ini manusia makin banyak yang “tersesat”, banyak disetujui oleh orang teis. Bahwa ia mendeskripsikan situasi ini dengan kontroversialnya itu menunjukkan bahwa Nietzsche memandang agama bukan dari dalam agama itu sendiri melainkan dari luar: ia memandang agama sebagai obyek penelitian.

Buku Sabda Zarathustra ini merupakan uraian pena pribadi dari Neitzsche. Ia adalah sejarah pengalamannya yang paling individual, yakni sejarah persahabatan, angan-angan, kegembiraan dan dukanya yang paling kelam. Zarathustra adalah orang pertama yang melihat adanya roda dalam berputarnya peristiwa dalam pertarungan antara yang baik dan yang buruk. Dibanding pemikir lain manapun, Zarathustra lebih jujur dan lebih berani dalam mengungkap segala kebobrokan manusia yang diselubungi berbagai dalih yang tampak cemerlang dilihat dari luar.

Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCeFl3seDzTHPyDm4dgH5Qhg1bCc5SSULps3qZ2HwpbGWEypoPM6dlx8PGUK-ruE8hT30mC3dnQYDrwz5WsLU5JsjlL2ZuRNmNVcWLn-CeKfwv_uYreZAMAZdPihWwmslQ6Zbkx7YHo00/s320/
 Judul : Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas
Judul asli: The Consequences of Modernity
Penulis: Anthony Giddens
Penerjemah: Nurhadi
Editor: Hadi Purwanto

Harga: 55,000


Melalui buku ini Anthony Giddens mengkaji seluk beluk modernitas dan konsekuensi-konsekuensi. Dalam masyarakat industrial, namun pada batas-batas tertentu di dunia ini secara keseluruhan, kita telah memasuki satu periode modernitas tingkat tinggi, yang terlepas dari ikatan terhadap keyakinan akan tradisi dan terhadap yang telah lama dikenal dengan “titik pengamatan” (baik bagi yang berada “di luar” maupun “di dalam” dan bagi yang lain) –dominasi Barat. Meski penemunya berusaha menemukan kepastian untuk menggantikan dogma-dogma yang telah ada sebelumnya, namun modernitas secara efektif melibatkan institusionalisasi keraguan. Semua klaim pengetahuan, pada zaman modern, pada dasarnya bersifat sirkuler, meski “sirkularitas” ini memiliki konotasi berbeda dalam ilmu alam bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial.

Menurut Giddens, modernitas sebenarnya berorientasi ke masa depan, sehingga “masa depan” memiliki status sebagai model yang kontrafaktual. Meskipun ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan, ini adalah satu faktor yang dijadikannya landasan untuk meletakkan realisme utopis. Antisipasi masa depan menjadi bagian dari masa kini, sehingga terpulang kepada bagaimana masa depan sebenarnya berkembang: realisme utopis mengombinasikan “pembukaan jendela” bagi masa depan dengan analisis kecenderungan institusional yang terus berlanjut di mana masa depan politis menjadi imanen dalam kehadirannya. Dengan membahas hubungan antara modernitas dengan transformasi ruang dan waktu secara mendalam, Giddens memulai kajian buku ini.

Dalam masyarakat industrial, namun pada batas-batas tertentu di dunia ini secara keseluruhan, kita telah memasuki satu periode modernitas tingkat tinggi, yang terlepas dari ikatan terhadap keyakinan akan tradisi dan terhadap yang telah lama dikenal dengan “titik pengamatan” (baik bagi yang berada “di luar” maupun “di dalam” dan bagi yang lain) –dominasi Barat. Meski penemunya berusaha menemukan kepastian untuk menggantikan dogma-dogma yang telah ada sebelumnya, namun modernitas secara efektif melibatkan institusionalisasi keraguan. Semua klaim pengetahuan, pada zaman modern, pada dasarnya bersifat sirkuler, meski “sirkularitas” ini memiliki konotasi berbeda dalam ilmu alam bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial.

Menurut Giddens, modernitas sebenarnya berorientasi ke masa depan, sehingga “masa depan” memiliki status sebagai model yang kontrafaktual. Meskipun ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan, ini adalah satu faktor yang dijadikannya landasan untuk meletakkan realisme utopis. Antisipasi masa depan menjadi bagian dari masa kini, sehingga terpulang kepada bagaimana masa depan sebenarnya berkembang: realisme utopis mengombinasikan “pembukaan jendela” bagi masa depan dengan analisis kecenderungan institusional yang terus berlanjut di mana masa depan politis menjadi imanen dalam kehadirannya.

TEORITISI KLASIK TENTANG MODERNITAS
Marx = modernitas ditentukan oleh ekonomi kaptilalis. Weber = perkembanagan rasionalis formal dengan mengorbankan tipe rasionalitas lain dan mengakibatkan munculnya kerangkeng besi rasionalitas. Durkheim = modernitas ditentukan oleh solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif. Simmel = perhatian pada “pengalaman“ modernitas.

MODERNITAS JUGGERNAUT
Giddens = kehidupan modern (berawal di Eropa abad 17) sebagai sebuah Juggernaut (panser raksasa). Modernitas dalam bentuk panser raksasa ini sangat dinamis. Kehidupan modern adalah sebuah “dunia yang tak terkendali” (runaway world) dengan langkah, cakupan, dan kedalaman perubahannya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem sebelumnya.

Konsekuensi dari tindakan untuk sebuah sistem tidak pernah dapat diramalkan sepenuhnya dan pengetahuan baru terus menerus memberangkatkan sistem menuju arah baru . Karena itu, kita semua tidak dapat mengendalikan laju panser raksasa dunia modern.

Giddens mendefinisakan dunia modern sebagai dunia reflkesi dan kedirian menjadi sebuah proyek refleksif. Dalam kehidupan modern, keintiman dan seksualitas telah tersingkirkan.

MASYARAKAT BERISIKO
Tahap klasik modernitas sebelumnya berkaitan dengan masayarakat industri, sedangkan kemunculan modernitas baru berkaitan dengan masyarakat berisiko. Sehingga, kehidupan masyarakat masa kini mempunya unsur industri dan resiko.

Menciptakan Risiko. Menurut Ulrich beck resiko terpusat dibangsa yang miskin, sedangkan yang kaya mampu menyingkirkan risiko sejauh mungkin. Namun, tak seorang individu kaya atau sebuah bangsa kaya pembuat risiko itu aman dari risiko, Dalam konteks ini Beck menyebutnya “efek bumerang”.

Mengatasi Risiko. Secara dialektika modernitas terdahulu telah menimbulkan baik itu risiko yang belum pernah terjadi sebelumnya maupun refleksif yang belum pernah ada sebelumnya untuk menanggulangi risiko itu (Beck, 1996).

MCDONALDISASI DAN ALAT KONSUMSI BARU
McDonaldisasi. McDonaldization ini semata-semata tertuju pada rasionalitas formal dan pada fakta bahwa restoran cepat saji (fast food) mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal.

Alat alat Konsumsi Baru. Semua alat-alat konsumsi baru adalah modern dalam pengertian bahwa alat-alat itu sebagian besar adalah incaran baru yang muncul dan berkembang pada akhir abad 20. Alat konsumsi baru sangat rasional dan merupakn fenomena modern.

MODERNITAS DAN HOLOCAUST
Menurut Ritzer, paradigma modern rasionalitas formal adalah restoran cepat saji. Sedangkan menurut Bauman, paradigma modern adalah holocaust, penghancuran sistematis orang yahudi oleh Nazi. Sehingga menurutnya, asal didata dengan benar, kehidupan modern akan siap untuk mengalami bahaya yang jauh lebih besar dan lebih berat ketimbang Holocaust.

Produk Modernitas. Modernitas, seperti yang melekat dalam sistem rasional ini, belum menjadi kondisi yang mencukupi untuk menghasilkan Holocaust. Namun, jelas merupakan kondisi yang diperlukan. Tanpa modernitas dan rasionalitas, ”holocaust tak mungkin terjadi”(Bauman, 1989:13).

Peran Birokrasi. Birokrasi dan para pejabatnya tidak dapat menciptakan Holocaust berdasarkan kemauannya sendiri karena tidak ada tempat bagi pertimbangan moral didalam struktur masyarakat modern.

Holocaust dan McDonaldisasi. Holocaust memiliki seluruh ciri- ciri McDonaldisasi dan yang paling sesuai adalah irasionalitas dari rasionalitas terutama dehumanisasi.

PETA PEMIKIRAN KARL MARX


Judul: Peta Pemikiran Karl Marx
Penulis: Andi Muawiyah Ramly
Penerbit: LKiS, 2000
Tebal: 196 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)


Materialisme Dialektis
Materialisme dialektis bertitik tolak dari materi yang satu-satunya kenyataan. Karl marx mengartikan dialektika materialisme sebagai keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus tanpa ada yang mengantarai. Dari proses itu kemudian timbul kesadaran melalui proses pertentangan, dan hal ini ada pertentangan antara segi-segi yang berlawanan dan gagasan bahwa segala sesuatu barkembang terus.

Dialektika materialisme pada perkembangannya merupakan jawaban persoalan filsafat dizamannya. Rumusan Hegel tentang kenyataan misalnya merumuskan bahwa apa yang nyata dapat dipikirkan dan apa yang dapat dipikirkan adalah nyata. Tetapi, Feurbach yang mendasari filsafat materialisme marx tidak setuju dengan rumusan dialektik Hegel, karena kalau dikatakan pikiran merupakan tesis sedangkan penampakan kenyataan (antitesis) pada akhirnya juga berada dalam pikiran, hal demikian tidak menjawab esensi persoalan. Sebab itu, Feurbach mengembalikan kenyataan pada materi.

Akan tetapi menurut Marx, Hegel tidak dapat membebaskan dari alienasi dengan gambaran bahwa kenyataan materil merupakan cermin dari pikiran seperti juga Feurbach tidak bebas dari alienasi dengan gambaran bahwa kenyataan materil merupakan cermin kenyataan, namun materialisme tak praktis bertolak dari posisi ini, Marx menyebutkan dalam tesisnya ke-x bahwa “pendirian materialisme lama adalah masyarakat sipil atau masyarakat borjuis sedang materialisme baru seperti yang diusulkan Marx adalah masyarakat yang disosialkan”. Tetapi dalam tesis ke-xi menyatakan bahwa “ia tidak mau berspekulasi secara teoritis seperti yang ia lontarkan pada filosof-filosof sebelumnya, marx juga tidak menghendaki sejumlah teori baru yang tidak bertali marga dengan kondisi zamannya”. Arah filsafat macam ini adalah praksis social revolusioner sebuah arus loncatan dari dialektika ideal (Hegel) dengan materialisme verbalis (Feurbach) menuju dialektika materialis.

Manusia dan Alam
Karakteristik pembicaraan Marx tentang manusia didapatkan dalam rumusan bahwa manusia adalah mahluk yang konkrit. Manusia tidak akan pernah mampu untuk menyatakan kehadirannya diluar alam, bahkan manusia bukanlah roh yang terjun kedalam dunia materi seperti yang terdapat dalam dialektika Hegel. Manusia merupakan bagian integral dari alam dan materi, dengan kata lain manusia tergantung dari alam sekaligus mempunyai sikap aktif terhadap alam. Dari alamlah manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya melalui praksis kerja, karenanya corak manusia dalam wawasan ini diacukkan kearah humanisme proletar yaitu kemanusiaan rakyat murba. Karena pada hakikatnya yang membuat manusia menjadi homo humanus adalah kerja.

Bagi Marx, alam hendaknya dipandang sebagai suatu proses yang dinamis, rumusan ini berangkat dari penolakannya terhadap materialisme lama yang menjadikan mesin sebagai ukuran untuk menerangkan alam, manusia dan binatang. Marx mengakui keberhasilan materialisme mekanistis Feurbach, akan tetapi Feurbach tidak cukup tuntas mendalaminya sehingga menggantikan manusia konkrit dengan suatu wujud khayalan dan abstrak, yaitu manusia sebagai suatu mahluk generic.. Berdasarkan alasan itu, Marx melihat manusia dan alam dari sudut pandang materialisme dialektis, bahwa seluruh kenyataan berkembang secara kualitatif dalam loncatan-loncatan yang menuju kepada perspektif realitas baru.

Materialisme Historis
Dalam materialisme Historis diungkapkan bahwa manusia hanya dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam konteks sejarah. Manusia pada hakikatnya adalah insan bersejarah. Dan penafsiran sejarah sebelum Marx beragam macamnya baik itu secara fatalistic, social, politis, ide dan gagasan. Hal itu terjadi tidak lain karena ada penafsiran yang berbeda terhadap realitas sejarah yang terjadi.

Berbeda dengan Marx, dengan materialisme historisnya bertumpu pada dalil bahwa produksi dan distribusi barang serta jasa merupakan dasar unutk membantu manusa untuk mengembangkan eksistensinya. Dengan kata lain, penafsiran sejarah dari aspek ekonomi menempatkan pertukaran barang dan jasa sebagai syarat untuk menata segenap lembaga social yang ada. Karena itu Marx membagi tahap perkembangan sejarah kemanusiaan menjadi lima yaitu: pertama masyarakat komunal primitive, kedua masyarakat perbudakan, ketiga mayarakat feodal, keempat mayarakat kapitalis, kelima masyarakat sosialis. Dari lima tahap tersebut ada dua faktor kunci yang mendasari proses didalamnya. Pertama kekuatan-kekuatan produksi, kedua hubungan-hubungan produksi.

Pertentangan kelas dan Nilai Lebih
Menurut Marx riwayat dari dari setiap masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas. Pertentangan kelas yang berlangsung sejak dahulu hingga kini mengarah pada pertentangan kaya (borjuis) dan pertentangan buruh (proletar). Konsep kelas dan pertentangan kelas ini muncul karena perkembangan pembagian kerja secara social, yaitu munculnya hak milik pribadi atas alat-alat produksi.

Kemudian Marx merumuskan formulasi teoritisnya dalam tiga hukum gerakan ekonomi: pertama hukum akumulasi modal kedua hukum konsentrasi modal ketiga hukum bertambahnya kemelaratan. Ternyata dari tafsiran tersebut diperoleh solusi bahwa masyarakat dalam kritiknya senantiasa mengedepankan faktor manusia dan hubungan manusia yang terlibat di dalam mekanisme produksi, karenanya dalam analisis ekonominya, ketika membahas soal produksi, upah kerja, nilai barang dan pasar sebenarnya yang menjadi inti perhatian Marx adalah hubungan kemanusiaan yang mendasari dan menjalin proses itu.

Revolusi Dalam Perspektif Sosialisme
Revolusi yang dilukiskan oleh Karl Marx dapat dijabarkan dalam dua tahap. Pertama, revolusi-revolusi yang yang dipelopori golongan feodal kedua revolusi yang dilakukan oleh kelas pekerja dalam upaya meruntuhkan kelas borjuis.

Dalam buku ini telah dijelaskan beberapa teori yang melatar belakangi lahirnya pola pemikiran materialisme dialektis dan materialisme historis dari Karl Marx yang dapat dijadikan acuan dasar bagi para pemula dalam memahami filsafat materialisme, serta pengantar untuk memahami pemikiran Karl Marx yang lebih luas agar kita dalam memahami pola pemikirannya tidak parsial karena Marx sendiri pernah berkata "aku Bukanlah Seorang Marxis".

Tetapi buku ini hanya terbatas sebagai suatu pengantar ke pemikiran Karl Marx. Dan sebagai pengantar tak dikemukakan didalamnya pengembangan lebih lanjut pemikiran Karl Marx oleh banyak kalangan teoritisi sosial mutakhir, yang kemudian dikenal sebagai kalangan revisionis. Demikian pula dengan teori sosialnya yang merasuk ke dalam pemikiran sosial-keagamaan, seperti teologi pembebasan.